PENGELOLAAN KESEHATAN TANAMAN PADA TANAMAN BAWANG MERAH YANG TERSERANG PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloesosporioides)

 PENGELOLAAN KESEHATAN TANAMAN PADA TANAMAN BAWANG MERAH YANG TERSERANG PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides)

 



 

Ach. Rifaldi Maulana Rahman

20025010110

Agroteknologi C

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

2022






I.      PENDAHULUAN

 

1.   1.1Latar Belakang

                        Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan, bahwa petani telah tumbuh untuk waktu yang lama. Komoditas unggulan ini termasuk dalam kelompok rempah-rempah yang tidak dicampur yang digunakan untuk membumbui makanan dan merupakan bahan dalam obat-obatan tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan peluang usaha yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah (Rp 2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan yang relatif besar hingga ±90.000 ha. Bawang merah ungu diproduksi di 24 dari 32 provinsi di Indonesia. Penghasil utama kucai (luas panen > 1000 ha per tahun) adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Provinsi-provinsi tersebut menyumbang 95,8% (75% kontribusi Jawa) dari total produksi bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Rata-rata konsumsi bawang merah pada tahun 2004 adalah 4,56 kg/ekor/tahun atau 0,38 kg/lima bulan. Konsumsi meningkat 10-20% jelang hari raya keagamaan.

                        Beberapa kendala yang ditemui saat menanam bawang merah adalah: (1) kurangnya benih dan kualitas yang memadai dalam hal waktu (durasi, kuantitas dan kualitas); (2) belum optimalnya pemanfaatan teknik peternakan yang baik dan baik; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) Agrobisnis yang tidak mendukung pengembangan usaha; (5) ukuran perusahaan relatif kecil karena kepemilikan tanah yang terbatas dan modal yang lemah; (6) produktivitas cenderung menurun; (7) harga cenderung fluktuatif dan dikendalikan oleh perantara; dan (8) meningkatnya serangan penyakit. Organisme Pengganggu Tanaman Bawang Merah (OPTs) ditemukan di lingkungan dengan ekosistem yang sangat dinamis. Akibatnya, sebagian besar dimasukkan ke dalam ekologi dalam organisme dengan sifat biologis r (selektif) atau transisional r dan K: (1) tinggi, (2) kematian alami rendah, (3) siklus hidup pendek, (4) kecenderungan migrasi, (5) adaptasi yang kuat terhadap lingkungan hidup baru, (6) kompetisi antar spesies rendah dan (7) ukuran tubuh (relatif) kecil. Oleh karena itu, wabah sering terjadi di bawah kondisi ekosistem yang mendukung. Kehadiran wabah sering terjadi sebelum atau selama penanaman ketika populasi mencapai tingkat yang mendekati batas kendali. Kemungkinan kerugian saat membayar bawang merah dalam jumlah besar bisa mencapai 138,4 miliar.

                        Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada bawang merah yaitu penyakit yang disebabkan oleh jamur Collectricum yang menyukai tempat basah. Spora antraknosa mudah menyebar saat bertemu aliran air atau percikan air. Gejalanya mirip dengan mekar terlambat atau bintik – bintik ungu, tetapi antraknosa menyebabkan kematian tanaman yang cepat. Morfologi dari penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini yaitu konidia dapat membentuk memar yang disebabkan oleh panas, kelembaban, dan kondisi makan yang tepat. Selama perkecambahan apresoria menginfeksi inang dengan cepat dan mudah. Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini jarang terjadi di kekeringan atau di tanah dengan drainase yang baik dan pengendalian gulma.

                        Penyakit antraknosa ini banyak dijumpai di daerah penanaman bawang merah di Indonesia. Gejala serangan antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada awalnya yaitu pada daun muncul bercak putih 1 – 2 mm, bintik – bintik putih tersebar luas dan berwarna hijau, tanaman mati mendadak, pangkal daun mengecil sedangkan daun bagian bawah rontok. Penyakit ini disebut autophagy karena tanaman yang terinfeksi pasti akan mati. Saat infeksi berlanjut, spora muncul yang menyebabkan koloni berwarna merah muda menjadi coklat tua dan akhirnya hitam. Ketika kelembaban tinggi, terutama pada musim hujan miselium tumbuh dari daun ke umbi dan menyebar di permukaan tanah. Miselium di permukaan tanah berwarna putih dan dapat menyebar ke tanaman lain sehingga daun kering, umbi busuk. Infeksi yang tersebar menyebabkan tanaman menderita dingin yang parah di beberapa tempat.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana perencanaan dalam pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman  bawang merah ?

2.    Bagaimana cara pelaksanaan untuk mengatasi pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah ?

3.    Bagaimana hasil dari yang didapat selama penanaman tanaman bawang merah ?

 

1.3  Tujuan

1.    Mengetahui perencanaan dalam pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah.

2.    Mengetahui pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah.

3.    Mengetahui hasil analisis usahatani tanaman bawang merah.

 





II.           TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1  Tanaman Bawang Merah

            Bawang merah merupakan salah satu sayuran yang sudah lama dibudidayakan secara intensif oleh masyarakat. Sayuran ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja, memberikan kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi daerah. Bawang merah merupakan produk yang banyak ditanam oleh petani dari dataran hingga dataran tinggi. Bawang merah membutuhkan suhu antara 25°C dan 30°C, area terbuka yang bebas dari kabut, sinar matahari, dan tanah yang gembur dan subur, sehingga dianggap mengandung bahan organik yang cukup untuk memastikan pengembangan dan produksi yang optimal (Istina, 2016). Bawang merah biasanya dapat membentuk umbi di daerah dengan suhu udara rata-rata 22°C, tetapi hasil umbi tidak sebaik di daerah dengan cuaca panas. Bawang merah dapat ditanam di sawah atau di lahan kering, teksturnya lemah dan teksturnya sedang sampai lempung. Umumnya bawang merah diperbanyak dengan menggunakan umbi sebagai bibit. Petani bawang merah juga sering menggunakan bibit dari umbi konsumsi. Penggunaan bibit dari umbi-umbian untuk konsumsi telah diturunkan dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Akibatnya, umbi bibit yang digunakan kualitasnya lebih rendah (Triharyanto et al., 2013).

            Pengolahan tanah pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan lapisan olah yang gembur dan cocok untuk budidaya bawang merah. Pengolahan tanah efektif untuk menambah kesuburan tanah dan memelihara struktur tanah agar tetap gembur sehingga dapat meningkatkan bobot umbi bawang merah (Saragih et al., 2014). Umbi bibit ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm, dengan alat penugal lubang tanaman yang dibuat sedalam rata – rata setinggi umbi. Penanaman bawang merah pada lahan kering menggunakan jarak 15 cm x 20 cm untuk ukuran umbi agak besar dan 15 cm x 15 cm untuk umbi ukuran kecil, ditanam satu umbi tiap lubang ukuran jarak tanam, dibenamkan langsung sehingga rata dengan permukaan tanah. Pemakaian umbi yang seragam menghasilkan pertanaman bawang merah tumbuh merata selama 7-10 hari (Suwandi, 2013).

            Pemupukan berupa pupuk NPK dilakukan pada umur 10-15 hari setelah tanam dan susulan ke II pada umur 1 bulan sesudah tanam masing-masing setengah dosis.pupuk NPK diaplikasikan dalam larikan dan dibenamkan ke dalam tanah. Perbedaan dosis pemupukan memengaruhi pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil panen umbi bawang merah (Wiguna et al., 2013). Tanaman bawang merah meskipun tidak menghendaki banyak hujan, tetapi tanaman bawang merah memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya melalui penyiraman. Penyemprotan air di pagi hari bermanfaat, antara lain untuk mengurangi resiko serangan penyakit ular tanah dan penyakit utama bawang merah seperti antraknosa, layu fusarium dan bercak yang disebabkan alternaria porrii (Suwandi, 2013).

 

2.2  Penyakit Antraknosa

            Penyakit antraknosa pada bawang merah  (Allium cepa L. var. ascalonicum (L.) Back.) pertama kali dideskripsikan di Nigeria pada tahun 1969 dan dikenal sebagai penyakit hujan akhir, karena patogen hanya dapat menyerang selama musim hujan. Awalnya penyakit ini tidak signifikan, tetapi sekarang di Nigeria penyakit ini relatif parah dan satu pengobatan dapat memberikan 50 – 100% dari hasil yang diharapkan. Gejala khas penyakit antraknosa ini adalah daun menggulung, daun layu, dan bagian leher daun yang panjangnya tidak normal. Jika penyakit ini berlanjut, akar tanaman bawang merah akan mengerut dan memendek dibandingkan dengan tanaman sehat dan tanaman mati.

            Umbi tanaman bawang merah yang sakit berukuran kecil dan kurus, beberapa di antaranya yaitu membusuk sebelum di panen. Rotasi akan lebih cepat selama penyimpanan. Penyakit antraknosa disebabkan oleh Jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. dengan telemorph Glomerella cingulata. Jamur ini membentuk partikel berpori  dalam matriks perekat, sehingga sulit bagi angin untuk membubarkannya. Penyakit antraknosa di Indonesia paling sering terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan dikenal sebagai penyakit ‘otonom’ karena sifat menyerangnya yang mendadak dan fatal. Penyakit ini sulit dikendalikan dengan fungisida yang biasa digunakan untuk memerangi penyakit bawang merah yang tidak efektif. 

 





III.          PEMBAHASAN

 

3.1  Perencanaan

                        Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada bawang merah yaitu penyakit yang disebabkan oleh jamur Collectricum yang menyukai tempat basah. Spora antraknosa mudah menyebar saat bertemu aliran air atau percikan air. Gejalanya mirip dengan mekar terlambat atau bintik – bintik ungu, tetapi antraknosa menyebabkan kematian tanaman yang cepat. Morfologi dari penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini yaitu konidia dapat membentuk memar yang disebabkan oleh panas, kelembaban, dan kondisi makan yang tepat. Selama perkecambahan apresoria menginfeksi inang dengan cepat dan mudah. Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini jarang terjadi di kekeringan atau di tanah dengan drainase yang baik dan pengendalian gulma.  Penyakit antraknosa ini banyak dijumpai di daerah penanaman bawang merah di Indonesia. Gejala serangan antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada awalnya yaitu pada daun muncul bercak putih 1 – 2 mm, bintik – bintik putih tersebar luas dan berwarna hijau, tanaman mati mendadak, pangkal daun mengecil sedangkan daun bagian bawah rontok. Penyakit ini disebut autophagy karena tanaman yang terinfeksi pasti akan mati. Saat infeksi berlanjut, spora muncul yang menyebabkan koloni berwarna merah muda menjadi coklat tua dan akhirnya hitam. Ketika kelembaban tinggi, terutama pada musim hujan miselium tumbuh dari daun ke umbi dan menyebar di permukaan tanah. Miselium di permukaan tanah berwarna putih dan dapat menyebar ke tanaman lain sehingga daun kering, umbi busuk. Infeksi yang tersebar menyebabkan tanaman menderita dingin yang parah di beberapa tempat.

                        Pengendalian penyakit antraknosa dapat menggunakan pengendalian secara bercocok tanam dengan mengatur waktu tanam yang tepat dan penggunaan benih yang berasal dari tanaman sehat. Selain itu, pengendalian penyakit antraknosa juga dapat dengan menggunakan pengendalian fisik / mekanik dan pengendalian kimia. Pengendalian penyakit antraknosa secara fisik / mekanik yaitu dengan cara sanitasi dan pembakaran sisa – sisa tanaman yang sakit, eradikasi selektif terhadap tanaman bawang merah yang terserang jika hasil pengamatan serangan ringan < 10%. Sedangkan pengendalian penyakit antraknosa secara kimia dapat dilakukan jika hasil pengamatan intensitas serangan >10% dan fungisida yang digunakan yaitu yang telah mendapat izin oleh Menteri Pertanian (Direktorat Perlindungan Hortikultura Kementerian Pertanian, 2020).

 

3.2  Pelaksanaan Penanaman

3.2.1  Persiapan Benih

      Kualitas benih merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil panen. Bawang merah yang digunakan sebagai benih harus cukup umur. Benih basah paling baik disimpan selama 30-40 hari. Petani sering menggunakan benih yang dibeli dari pasar. Kegiatan penyiapan benih biasanya dilakukan sehari sebelum disemai. Persiapan benih terdiri dari pembersihan dan pemotongan bagian atas bawang. Pemotongan bawang merah dilakukan untuk menumbuhkan bawang merah dengan cepat dan dengan jumlah umbi yang banyak, untuk hasil yang optimal. Petani juga mencampur benih bawang merah dengan fungisida agar benih tidak busuk saat ditanam. Kegiatan persiapan benih ini biasanya dijalankan oleh pekerja keluarga. Jika jumlah benih yang digunakan banyak, benih disiapkan dengan mengirimkannya kembali beberapa hari sebelumnya.

3.2.2  Pengolahan Lahan

      Pengolahan tanah dilakukan untuk menciptakan tanah yang subur dan bebas yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan bawang merah. Langkah pertama adalah penyiangan dengan herbisida. Persiapan lahan dalam 4 tahap yaitu mengolah, mengolah, menanam di petak bunga dan menggali tanah. Setelah menyelesaikan empat tahap penanaman, bedengan disiapkan selama tujuh hari, setelah itu tanah siap untuk ditanami bawang merah.

3.2.3  Penanaman

      Penanaman biasanya dilakukan oleh pekerja, dan pekerja hanya bertanggung jawab untuk memasukkan benih ke dalam tanah pot untuk ditanam. Penanaman dilakukan terlebih dahulu dengan membuka lubang disusul lubang tanam yang merupakan aplikasi pemupukan dasar yang pertama. Pupuk dasar ini biasanya terdiri dari pupuk kandang dan pupuk TSP. Setelah pemupukan dasar, tanah didiamkan selama sehari setelah tanam. Petani sering menanam pada pagi atau sore hari untuk mengurangi penguapan air. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 x 20 cm dan 20 x 20 cm, dengan lebar bedengan 110-120 cm dan tinggi bedengan 50-60 cm. Bedengan akan lebih tinggi jika kondisi tanah terlalu berair. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi tanah agar tidak terlalu basah karena tanaman bawang merah rentan busuk umbi saat tanah terlalu basah. Teknik menanam bawang merah di lokasi penelitian dilakukan dengan cara mencelupkan kucai ke dalam lubang yang sudah dibuat sebelumnya. Bawang merah dikubur sedalam 3/4, pucuknya terbuka dan saling berhadapan, hingga pucuknya rata dengan tanah.

3.2.4  Penyulaman

      Penyulaman dilakukan ketika tanaman berumur ± 15 HST (Hari Setelah Tanam). Pada umur tersebut biasanya sudah terlihat benih yang tumbuh atau tidak, sehingga untuk benih yang tidak tumbuh dapat diganti dengan benih baru. Pada umumnya petani bawang merah memperoleh benih dengan hasil membeli di pasar, dimana umur benih tersebut berbeda-beda. Kondisi tersebut menyebabkan benih yang tidak tumbuh relatif lebih banyak  sehingga memerlukan adanya proses penyulaman.

3.2.5  Penyiangan

      Proses penyiangan dilakukan untuk membersihkan lahan dari gulma-gulma yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman bawang merah, karena terjadi persaingan dalam memperoleh unsur hara. Penyiangan pada umumnya hanya dilakukan satu kali selama satu musim tanam yaitu ketika tanaman berumur 30 hari. Hal tersebut karena ketika benih berumur tiga hari atau sebelum benih ditanam telah dilakukan penyemprotan dengan menggunakan herbisida, sehingga sampai umur 30 hari gulma-gulma tidak akan tumbuh.

3.2.6  Penyiraman

      Tanaman bawang merah tidak memerlukan banyak air karena umbi bawang merah mudah busuk, akan tetapi selama pertumbuhannya tanaman bawang merah membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu, tanaman bawang merah memerlukan penyiraman secara intensif apalagi karena penanaman bawang merah terletak di lahan bekas padi. Kegiatan penyiraman menyesuaikan kondisi musim tanam yang dilakukan oleh petani responden. Jika petani bawang merah menanam pada musim hujan maka frekuensi penyiraman tidak dilakukan sesering pada musim kemarau. Pada musim kemarau penyiraman dilakukan setiap hari sampai tanaman bawang merah tumbuh. Hal tersebut karena pada musim kemarau tanaman bawang merah memerlukan penyiraman yang cukup. Setelah tanaman tumbuh, frekuensi penyiraman dikurangi hingga dua hari sekali atau tiga hari sekali dan menjelang panen frekuensi penyiraman semakin dikurangi. Hal tersebut bertujuan agar tanaman umbi bawang merah yang dihasilkan tidak terlalu berair, karena akan menyebabkan cepat busuk. Selain itu, pengurangan frekuensi penyiraman juga bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan selama penjemuran.

3.2.7  Pemupukan

      Pemupukan merupakan kegiatan dalam usahatani yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat hara bagi tanaman yang kurang tersedia di dalam tanah. Petani bawang merah melakukan pemupukan sebanyak 3-4 kali selama satu musim tanam. Apabila melihat kondisi di lapang bagus, tak jarang petani melakukan pemupukan lebih dari empat kali dengan tujuan agar memperoleh hasil yang maksimal. Hal tersebut yang menyebabkan penggunaan pupuk termasuk tinggi. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanaman bawang merah mencapai umur 15 hari setelah tanam. Pemupukan kedua dilakukan pada saat 30 hari setelah tanam. Pemupukan ketiga dilakukan pada saat umur 45 hari setelah tanam dan pemupukan keempat dilakukan pada saat umur 60 hari setelah tanam. Cara pemupukan dilakukan dengan mencampurkan setiap kombinasi berbagai jenis pupuk kemudian pupuk ditaburkan diantara barisan bawang merah.

3.2.8  Pengendalian Hama dan Penyakit

      Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman bawang merah dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat adanya serangan hama dan penyakit. Aktivitas ini disesuaikan dengan kondisi hama dan penyakit yang menyerang lahan pertanian. Pengendalian hama dan penyakit di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia. Penyakit yang sering menyerang tanaman bawang merah antara lain penyakit antraknosa.

3.2.9 Panen dan Pasca Panen

      Kegiatan pemanenan meliputi aktivitas pencabutan, pembersihan umbi (mutik), dan pengangkutan hasil dari lahan ke rumah pemilik. Kegiatan pencabutan dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dan pembersihan umbi (mutik) dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Selain melakukan kegiatan pencabutan, tenaga kerja laki-laki juga mengangkut hasil panen ke rumah pemilik. Panen dilakukan setelah umbi berukuran besar dan siap dipanen, yaitu pada umur tanaman 55-65 hari. Umur panen pada musim hujan antara 50-55 hari sedangkan pada musim kemarau 60-65 hari. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut umbi bawang merah secara perlahan dari dalam tanah. Setelah dicabut kemudian bawang merah tersebut diikat sebanyak ± 10 rumpun per ikat dan dikumpulkan di satu tempat untuk mempermudah pengangkutan. Kegiatan pasca panen yang dilakukan adalah penjemuran, pengikatan bawang yang telah kering dan pemotongan daun-daun yang terdapat pada bawang (meres). Kegiatan penjemuran biasanya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Kegiatan penjemuran dilakukan di bawah terik matahari selama ± satu minggu.

 

3.3  Usahatani

            Tabel 1. Perhitungan usahatani pada tanaman bawang merah dengan luas lahan 2 hektar dalam mengendalikan penyakit antraknosa.

Uraian

Pengendalian

Konvensional

 

Biaya Tetap

Sewa lahan

Rp.   4.000.000

6 %

Rp.  4.000.000

5,60 %

Penyusutan

Rp.      200.000

0,30 %

Rp.     114.000

0,17 %

Jumlah

Rp.   4.200.000

 

Rp.  4.114.000

 

 

 

 

 

 

Biaya Tidak Tetap

Bibit

Rp.  37.000.000

58,40 %

Rp.  37.000.000

56,80 %

Pupuk

Rp.    4.450.000

7,07 %

Rp.   5.000.000

7,08 %

Pestisida

Rp.    1.400.000

2,28 %

Rp.  3.000.000

4,42 %

Listrik

Rp.       480.000

0,75 %

 

 

Pengairan

Rp.       290.000

0,46 %

Rp.       300.000

0,50 %

Tenaga Kerja

Rp.  16.000.000

24,76 %

Rp.  17.000.000

25,50 %

Jumlah

Rp.  59.620.000

100 %

Rp.  62.300.000

100 %

Total Biaya

Rp.   63.820.000

 

Rp.  66.414.000

 

Penerimaan

Rp. 183.000.000

 

Rp. 157.000.000

 

Pendapatan

Rp. 119.180.000

 

Rp.  90.586.000

 

 

            Biaya usahatani merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses usahatani yang terdiri dari biaya tetap, dan biaya tidak tetap. Secara ekonomis, besaran biaya yang diperlukan dan hasil yang diperoleh dari kegiatan usahatani bawang merah dengan upaya pengendalian hama dan penyakit secara konvensional. Hasil dari analisis data tabel 1. tersebut menunjukkan bahwa secara ekonomis biaya yang diperlukan untuk pengendalian hama dan penyakit secara konvensional memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan biaya pada pengendalian hama dan penyakit pada tanaman bawang merah, sedangkan penerimaan yang diperoleh petani menunjukkan kondisi yang bertolak belakang yaitu diperoleh dari nilai penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai penerimaan pada usahatani yang pengendalian hama secara konvensional. Selain itu, nilai pendapatannya ternyata pada kegiatan usahatani bawang merah yang pengendalian hama dan penyakitnya memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan yang secara konvensional.

 

 

 

 

 

 

 

IV.   KESIMPULAN

 

                        Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan, bahwa petani telah tumbuh untuk waktu yang lama. Beberapa kendala yang ditemui saat menanam bawang merah adalah: (1) kurangnya benih dan kualitas yang memadai dalam hal waktu (durasi, kuantitas dan kualitas); (2) belum optimalnya pemanfaatan teknik peternakan yang baik dan baik; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) Agrobisnis yang tidak mendukung pengembangan usaha; (5) ukuran perusahaan relatif kecil karena kepemilikan tanah yang terbatas dan modal yang lemah; (6) produktivitas cenderung menurun; (7) harga cenderung fluktuatif dan dikendalikan oleh perantara; dan (8) meningkatnya serangan penyakit. Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada bawang merah yaitu penyakit yang disebabkan oleh jamur Collectricum yang menyukai tempat basah. Morfologi dari penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini yaitu konidia dapat membentuk memar yang disebabkan oleh panas, kelembaban, dan kondisi makan yang tepat. Penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) ini jarang terjadi di kekeringan atau di tanah dengan drainase yang baik dan pengendalian gulma. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ternyata lebih menguntungkan dan lebih efisien jika dibandingkan dengan usahatani yang dilakukan secara konvensional.

 

 





DAFTAR PUSTAKA

 

Astuti, Andjar., Nanang Krisdianto., dan Ayu Nurjannah. 2018. Sinergi Pengelolaan           Lingkungan Hidup Melalui Sistem Pengendalian Hama Terpadu (Kasus Pada Usahatani Bawang Merah). Jurnal Agribisnis Terpadu, 11 (1), 30 – 37.

 

Direktorat Perlindungan Hortikultura Kementerian Pertanian. 2020. Antraknosa.  Jakarta.

 

Hekmawati.,Susilo Hambeg Poromarto., dan Salim Widono. 2018. Resistensi Beberapa Varietas Bawang Merah Terhadap Colletotrichum gloeosporioides.   Jurnal Agrosains, 20 (2), 40 – 44.

 

Istina, I, N. 2016. Peningkatan produksi bawang merah melalui teknik pemupukan            NPK. Jurnal Agroekoteknologi, 3 (1).

 

Rahmadona, Lola., Anna Fariyanti., dan Burhanuddin. 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka. Jurnal Agrise, 15 (2), 72 – 84.

 

Saragih, R., Damanik, S., dan Siagian, B. 2014. Pertumbuhan dan produksi bawang         merah dengan pengolahan tanah yang berbeda dan pemberian pupuk NPK.Jurnal Agroekoteknologi, 2 (2).

 

Suwandi. 2013. Teknologi bawang merah off-season: Strategi dan Implementasi   Budidaya. Bandung. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

 

Triharyanto, E. Samanhudi. Pujiasmanto, B. dan Purnomo, D. 2013. Kajian           Pembibitan dan Budidaya Bawang Merah (Allium ascalonicum L) melalui Biji   Botani (True Shallot Seed). Surakarta. Universitas Negeri Surakarta.

 

Triwidodo, Hermanu., dan Maizul Husna Tanjung. 2020. Hama Penyakit Utama    Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum) dan Tindakan Pengendalian    di Brebes Jawa Tengah. Jurnal Agroekoteknologi, 13 (2), 149 – 154.

 

Wiguna, G., Azmi, C, I,. dan Hidayat, M. 2013. Perbaikan teknologi produksi benih        bawang merah melalui pengaturan pemupukan, densitas, dan varietas. Jurnal          Hortikultura, 23 (2).

 

 

Comments